Minggu, 27 November 2011

Pertimbangan Jurusan bagi pelajar


Sebuah survei menunjukkan bahwa salah satu sumber kegelisahan terbesar para siswa di Sekolah Menengah adalah soal pemilihan jurusan di Perguruan Tinggi. Mereka bingung menentukan pilihan. Mereka ragu-ragu jurusan apa yang akan dipilihnya kelak. Bahkan konon, sumber stres terbesar para siswa yang mampu secara ekonomi untuk melanjutkan kuliah adalah pemilihan jurusan, bukan ujian akhir sekolah. Dalam sebuah survei, ratusan siswa Sekolah Menengah ditanya, “Apakah yakin akan lulus sekolah?” Mereka menjawab “Yakin!” Tanpa ragu mereka menyatakan kalau mereka pasti bisa lulus. Hasil uji coba (try out) yang mereka lakukan sendiri mengindikasikan kalau mereka memang akan bisa lulus. Akan tetapi saat ditanya, “Apa jurusan yang akan kamu pilih saat kuliah kelak?” Sebagian besar belum bisa menjawab. Hanya kurang dari 5% siswa yang sudah mampu menjawab dengan tegas dan penuh keyakinan. Selebihnya ragu-ragu menjawab atau bahkan tidak menjawab sama sekali.

Mengapa memilih jurusan bisa memberikan stres yang besar bagi para siswa, bahkan melebihi ujian akhir sekolah? Sebab, rupa-rupanya para siswa itu sadar benar kalau jurusan yang akan mereka ambil merupakan penentu masa depannya. Mereka tahu bahwa nama jurusan yang mereka tuliskan di formulir pendaftaran masuk Perguruan Tinggi akan menjadi jalan hidup mereka selanjutnya sampai tutup usia. Mereka menyadari bahwa memilih jurusan sama dengan memilih kehidupan, bukan hanya sekedar memilih tempat sekolah belaka. Mereka juga sadar benar, bahwa jika merasa salah jurusan setelah kuliah, maka biaya yang harus dipikulnya sangat besar: kuliah yang kurang berhasil, hati yang tidak bahagia, biaya yang terbuang sia-sia, dan waktu yang tak bisa digantikan. Syukur kalau masih bisa pindah jurusan; bagaimana kalau pindah jurusan tidak mungkin dilakukan karena sudah sedemikian besar biaya yang dikeluarkan?
Kebingungan dan keragu-raguan saat memilih jurusan pada umumnya bersumber dari tiga sebab. Pertama, kurang mengenal jurusan-jurusan di Perguruan Tinggi dan prospektusnya. Sebagian besar siswa hanya mengenal sedikit saja jurusan-jurusan yang ada di Perguruan Tinggi. Mereka hanya tahu jurusan-jurusan yang paling populer saja. Akibatnya, pilihan yang bisa mereka buat pun sangat terbatas. Maklum, mereka tidak banyak tahu pilihan-pilihan yang tersedia bagi mereka. Lantas mereka pun kuatir berat karena mereka tahu bahwa saingan mereka tidak sedikit. “Wah jangan-jangan aku nggak bisa diterima nih. Saingannya banyak.” ujar mereka dalam cemas.

Kedua, mereka kurang mengenal diri mereka sendiri. Mereka tidak tahu apa yang cocok bagi mereka. Sebagian hanya ikut-ikutan teman, mengikuti saran orangtua, atau melihat tren, tanpa mereka tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan sendiri. Alhasil mereka tertarik sana-sini tapi malah jadi kebingungan. Itu persis sama dengan ketika berencana untuk membeli baju dan pergi ke mall, tapi sampai di Mall malah jadi bingung sendiri karena bajunya bagus-bagus dan tertarik dengan semuanya. Alhasil mereka tidak tahu mana jurusan-jurusan yang sesuai untuk diri mereka. Di sisi lain, mereka berpacu dengan waktu. Mau tidak mau mereka harus menentukan pilihan. Tak heran jika mereka sangat digelisahkan oleh hal tersebut.
Ketiga, kekuatiran terhadap kemampuan ekonomi keluarga menyokong biaya saat kuliah. Hal ini banyak dialami oleh mereka yang berasal dari kalangan keluarga yang kondisi ekonominya menengah ke bawah. Pilihan mereka terbatas karena jurusan yang diambilnya harus yang tidak berbiaya mahal. Padahal, beberapa jurusan diketahui memerlukan biaya besar. So, mereka tidak bisa memilih jurusan-jurusan mahal. Bahkan, sebagian besar  siswa di Indonesia tidak tahu apakah mereka bisa kuliah atau tidak.  Sangat banyak siswa yang  saat hampir lulus diajak bicara khusus oleh orangtuanya hanya untuk diberitahu, “Nak, kami tidak bisa menguliahkanmu. Kami tidak punya biaya.” Jadi kamu adalah orang-orang yang sangat beruntung jika orangtuamu bisa menjamin kamu kuliah. Ingatlah bahwa sebagian besar siswa yang lulus Sekolah Menengah di Indonesia tidak bisa kuliah karena tidak ada biaya.

PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN YANG UMUM
DIAMBIL SAAT MEMILIH JURUSAN
Tahu atau tidak tahu ragam jenis jurusan-jurusan yang ada berikut prospektusnya (peluang karirnya); paham atau tidak paham dengan dirinya; pada akhirnya semua orang yang akan kuliah mesti memilih jurusannya. Berikut adalah pertimbangan-pertimbangan yang umumnya diambil ketika memilih jurusan:

1.      Teman
Cukup banyak orang  yang memilih jurusannya karena teman baiknya memilih jurusan itu. “Tergantung pilihan Ika, Ma!” jawab Novi saat ditanya Mamanya jurusan apa yang akan dipilih kelak ketika kuliah. Terang saja Mamanya Novi kaget. Ketika diselusur lebih jauh, ketahuanlah kalau Novi merasa kuatir kelak harus menjalin pertemanan baru dengan orang-orang yang sama sekali asing. Jadi, Novi merasa lebih aman dan nyaman jika kuliah satu jurusan dengan teman terbaiknya di SMA karena berarti sudah punya teman saat masuk kuliah.
Nah, apakah kamu berpikir seperti Novi? Faktanya banyak sekali orang yang berpikir seperti Novi. Satu-satunya alasan mereka memilih sebuah jurusan adalah karena teman baiknya memilih jurusan itu. Sebagian berkelit beralasan demi solidaritas dengan teman. Salah. Bukan itu alasan sebenarnya. Yang sesungguhnya, mereka cari rasa aman. Langkah tersebut dilakukan sebagai antisipasi agar  mengurangi stres saat masuk kuliah di tempat baru. Adanya teman di tempat baru akan membuat mereka lebih percaya diri; kecemasan mereka berkurang.

2.      Hanya tahu informasi jurusan tertentu
Sebagian orang memilih jurusan karena hanya tahu informasi jurusan itu. Faktanya, sebagian besar siswa hanya mengenal jurusan-jurusan melalui profesi-profesi yang pernah didengar atau ditemuinya, seperti Kedokteran dan Keperawatan (karena dokter dan perawat biasa ditemui di Rumah Sakit), Hukum (karena pengacara sering muncul di media massa), dan seterusnya. Tidak sedikit pula yang tahu jurusan-jurusan di Perguruan Tinggi karena terkait dengan profesi orangtua mereka.  Bukan hal aneh bila anak-anak mengikuti jurusan yang dulunya dipilih oleh orangtua. Sebagai misal Eka dan Dido. Eka berniat masuk jurusan psikologi karena ibunya adalah seorang psikolog. Dido pun berniat masuk jurusan akuntansi karena ayahnya dulu kuliah di akuntansi. Tidak heran jika sebagian besar siswa hanya mampu menyebutkan tidak lebih dari 20 jurusan di Perguruan Tinggi. Padahal, jurusan di Perguruan Tinggi sangat beragam. Ada ratusan jurusan yang tersedia yang bisa dipilih.
Jika hanya tahu 20 jurusan, lalu bagaimana dengan 80% sisanya? Mengapa mereka tidak tahu? Sederhana saja, karena mereka tidak mau tahu. Maklum, jurusan-jurusan itu bukanlah jurusan-jurusan yang familiar. Dalam bahasa gaul, “bukan jurusan beken.” Oleh karena kurang beken, maka mereka pun tidak tertarik untuk mencari informasi lebih lanjut. Akibatnya, mereka pun tidak tahu apa-apa. Ujung-ujungnya jurusan-jurusan yang kurang beken itu pun terlupakan. Padahal, jurusan-jurusan yang sering dianggap kurang beken justru seringkali merupakan jurusan yang paling prospektif di masa depan. Mereka hanya tidak tahu.

3.      Pertimbangan kemudahan
Alasan lain yang juga banyak dipertimbangkan oleh banyak siswa ketika memilih jurusan adalah kegampangan kuliah. Ukuran yang digunakan adalah pelajaran “berat” saat SMA, seperti matematika, fisika, atau kimia. Mereka mengira bahwa jurusan-jurusan yang tidak ada pelajaran “berat”nya akan menjanjikan kemudahan. Jadilah mereka memilih jurusan-jurusan tanpa pelajaran berat itu. Inilah yang sering dijadikan pertimbangan ketika masuk jurusan-jurusan sosial. “Nggak ada matematikannya!” tutur Edo mantap ketika memilih jurusan Sastra Inggris.
4.      Pertimbangan finansial
Kuliah memerlukan biaya. Namanya biaya mempunyai sumber. Umumnya sumber biaya kuliah adalah orangtua. Oleh karena itu, mau tidak mau pilihan jurusan yang diambil disesuaikan dengan kondisi ekonomi orangtua. Banyak siswa yang tidak bisa memilih jurusan yang diincarnya gara-gara secara finansial mereka tidak sanggup. Maklum, sebagian jurusan memerlukan biaya kuliah lebih mahal di bandingkan jurusan lainnya. Oleh sebab itu, banyak siswa yang memilih jurusan-jurusan yang berbiaya murah plus murah juga dalam biaya hidup.

5.      Pertimbangan karir dan prospek ekonomi di masa depan
“Aku pengin jadi pengacara. Bayarannya besar.  Bisa terkenal. Kalau ada apa-apa pasti polisi nggak berani berbuat macam-macam,” tutur Bayu saat di tanya mengapa dia memilih jurusan hukum. Tika lain lagi, “Aku milih farmasi karena bayarannya gede. Langka. Gampang dapat kerjanya.” Begitupun dengan Edo, “Akuntansi dong, biar kerja di bank yang duitnya gede.”
Begitulah yang banyak dilakukan orang ketika memilih jurusan, yakni mempertimbangkan karir di masa depan. Mereka meraba-raba prospek karir masa depan dari setiap jurusan. Akibatnya ada jurusan-jurusan yang dianggap basah karena menjanjikan karir yang bagus setelah lulus, tapi ada juga jurusan-jurusan yang dianggap kering karena tidak jelas menjanjikan karir seperti apa usai lulus kuliah. Jurusan-jurusan yang dianggap favorit biasanya adalah jurusan yang dipandang memberikan janji karir menggiurkan, terutama secara finansial. Bahkan ada banyak orang yang sengaja datang ke psikolog bukan untuk tahu potensi terbesarnya, tapi hanya untuk bertanya, “Apa ya jurusan-jurusan yang paling banyak menghasilkan uang setelah kelak lulus?”

6.      Pertimbangan  cinta
Mirip dengan faktor teman, faktor asmara rupanya kerap menjadi pertimbangan seseorang memilih jurusan. Banyak orang yang memilih sebuah jurusan karena orang yang dicintainya (pacarnya) memilih jurusan itu atau menyarankan jurusan itu, atau jurusan itu ada di Fakultas yang sama dengan pilihan atau tempat kuliah pacar. Padahal, fakta membuktikan kalau pacar saat SMP atau saat SMA sangat jarang yang bisa berlanjut hingga menikah. Sebagian besar putus di tengah jalan. Masalahnya, saat jatuh cinta, mana mereka mau tahu dengan kenyataan itu. Mereka yang sedang kasmaran hanya bisa memikirkan bagaimana caranya agar dekat-dekat dengan pacarnya; seterusnya, selamanya.

7.      Pertimbangan orangtua
Orangtua seringkali dominan dalam menentukan jurusan yang dipilih anaknya. Selera orangtua yang menentukan jurusan yang diambil anaknya. Pada sebagian kasus, biasanya orangtua menghendaki anaknya masuk jurusan yang sama dengan dirinya dulu sewaktu kuliah. Orangtua yang dokter menginginkan anaknya masuk kedokteran. Orangtua yang pengacara menginginkan anaknya masuk jurusan hukum. Orangtua yang arsitek ingin anaknya masuk arsitek juga. Kabar baiknya, jika orangtua benar-benar merasa cocok dan pas di sebuah jurusan dan mengharapkan anaknya mengikuti jejaknya, ada kemungkinan si anak akan berhasil. Mengapa? Kamu pasti tahu dengan pepatah, “Air cucuran jatuhnya ke pelimbahan juga.” Artinya, biasanya bakat, minat dan kepribadian anak tidak jauh-jauh dari orangtuanya. Jadi, apa yang cocok dengan orangtua seringkali juga cocok untuk anaknya. Masalahnya, tidak semua anak mirip orangtuanya. Antara anak dan orangtua sering terdapat perbedaan karakter yang cukup jauh. Jadi, jurusan yang cocok untuk orangtua tidak selalu cocok untuk anaknya.
Pertimbangan berat orangtua memilihkan jurusan untuk anaknya biasanya berkutat di persoalan prospek karir di masa depan. Mereka jeli melihat karir-karir yang sekiranya bakal memberikan jaminan karir bagus untuk anaknya. Jadi, sang anak pun diminta memilih jurusan-jurusan itu. Sebab, bagaimanapun namanya orangtua selalu menginginkan anaknya memiliki kehidupan yang berhasil.  Mereka cemas jika anaknya kelak tidak memiliki kehidupan yang sukses. Mereka takut hidup anaknya terlunta-lunta. Mereka ingin anaknya hidup berkecukupan. Para orangtua biasanya berprinsip: “Tidak apa-apa kami hidup susah demi anak. Yang penting anak-anak kami kuliah di tempat bagus agar kelak memiliki kehidupan lebih baik ketimbang kami.” Nah, mengerti bukan, mengapa para orangtua ingin agar anaknya mengambil jurusan yang lebih memberikan prospek karir cerah di masa depan?

8.      Perlawanan atau kemandirian
Sebagian orang memilih jurusan dengan tujuan untuk melakukan perlawanan terhadap orangtua. Mereka sengaja memilih jurusan yang tidak dikehendaki orangtua dan kuliah di Perguruan Tinggi yang juga tidak diinginkan orangtua. Mereka ingin menunjukkan kemandiriannya. Apabila kemudian orangtua justru mendukung pilihan jurusannya, mereka justru beralih minat ke jurusan lainnya. Mereka berprinsip: “Jurusan apapun bagus untukku, asalkan bukan jurusan yang dimaui orangtuaku.” Jadi, pertimbangan mereka semata-mata agar bertentangan dengan kehendak orangtua. Biasanya, hal tersebut terjadi pada orang-orang yang bermasalah dengan orangtuanya dan menuduh orangtua sebagai sumber dari semua masalahnya. Mereka pun menentang orangtua habis-habisan. Dengan gagah mereka memproklamasikan diri untuk tidak mengikuti apa pun kemauan atau pertimbangan orangtua. Mereka bilang: “Ini hidupku. Jangan campuri!”
9.      Ketertarikan sesaat
Suatu ketika, serombongan mahasiswa dari jurusan X dari sebuah Universitas datang ke sekolah. Mereka menceritakan berbagai macam tentang jurusan itu; cara masuknya, hal-hal yang menarik dari sana, hingga prospek kerjanya di masa depan. Pada saat kelulusan, puluhan siswa di sekolah itu berbondong-bondong mendaftar di jurusan X. Dari sisi para mahasiswa yang berorasi itu, fenomena berbondong-bondongnya siswa mendaftar merupakan keberhasilan misi. Pertanyaannya: apa yang terjadi dengan para siswa itu? Jawabnya simpel: mereka tergoda.
Agak sedikit mengejutkan bahwa pertimbangan memilih jurusan yang sedemikian krusial itu ternyata hanya berlandaskan rasa ketergodaan sesaat. Proses psikologis yang mendasarinya tidak jauh berbeda dengan penjual baju yang menggembor-gemborkan kehebatan suatu produk, lantas kamu tertarik dan membelinya.  Saat ada penjual lain yang lebih hebat dalam merayu, kamu pun tertarik lagi dan kembali membelinya. Ketika datang penjual lainnya dengan gaya membujuk yang lebih canggih, lagi-lagi kamu membelinya.
Sumber ketergodaan tidak melulu orasi langsung dari seseorang yang berasal dari jurusan. Lebih sering, ketergodaan itu datang dari bacaan-bacaan. Membaca buku X tentang kisah jurusan Y, dia tertarik jurusan Y. Membaca kisah orang berhasil dari jurusan  K, dia tertarik jurusan K. Demikian seterusnya. Jurusan yang paling menimbulkan rasa tergoda terdalam adalah jurusan yang akan diambil.
Terkadang, ketergodaan sesaat itu memang tidak membawa efek negatif karena ternyata jurusan itu yang memang paling pas untuk dirinya. Akan tetapi, sering juga kurang pas karena sebenarnya itu bukan jurusan yang sesuai untuknya.

10. Pertimbangan kecocokan
Pertimbangan berikutnya adalah pertimbangan kecocokan pribadi;  baik dari sisi minat, nilai-nilai pribadi, bakat, kepribadian maupun latar belakang keluarga. Mula-mula dicari tahu profil pribadinya seperti apa. Lantas, dipilihlah jurusan terbaik berdasarkan karakter pribadinya itu, plus disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan diri yang dikombinasi dengan pertimbangan prospek karir. Bimbingan karir semacam itulah yang biasanya dilakukan oleh para konselor karir.

0 komentar:

Posting Komentar