Ada kisah nih , tentang keluarga yang mempunyai anak namanya Joel, pernah membuat kami panik karena baru bisa menyebut ‘mama’ pada
saat ia berusia 2 tahun. Dan ketika anak-anak sebayanya telah
bercas-cis cus ia hanya bisa berbicara dua kata dalam kalimat. Demikian
pula ketika para temannya mulai menceritakan kisah yang mereka alami di
sekolah, Joel masih kesulitan membentuk satu kalimat utuh.
Banyak factor yang mungkin menjadi penyebabnya, multi-lingual yang kami ajarkan, kurang social life karena kami tinggal di luar negeri, sulitnya beradaptasi dengan dengan komunitas yang multi-cultural, atau karena factor kelainan perkembangan.
Sebagai orang tua kami berusaha mencari jawabnnya dengan untuk
membawa anak kami ke psikolog, pediatrician, bahkan ke speech therapy.
Hati saya gelisah ketika melihat perkembangan anak saya selalu
ketinggalan dari milestones developmental-nya. Bukankan setiap
ibu pernah bermimpi mempunyai anak jenius yang bisa menyamai Albert
Einstein? Keadaan lingkungan membuat saya semakin cemas, ketika melihat
anak-anak sebayanya telah mahir melafalkan Alphabet dan berhitung 1-100
sementara ia belum bisa menghitung sampai sepuluh.
Kegelisahan saya menjadi berkurang bahkan membuat saya menjadi orang
tua yang percaya diri dengan keunikan perkembangan anak saya, ketika
kami terlibat dalam proses pembelajarannya. Tugas kami tidak sekedar
mendaftarkan anak ke sekolah dan tempat kursus kemudian menyiapkan lunch
boxnya, tapi saya dan Nando turun tangan mengajari Joel. Bagi kami
sekolah hanyalah tambahan sedangkan pendidikan utamanya adalah di rumah.
Dari cemas hati saya berubah menjadi takjub melihat keunikan dan
kepandaian anak kami dalam belajar. Kesalahan saya yang utama adalah
membanding-bandingkan anak saya dengan anak-anak lain. Saya juga membaca
milestones yang dibuat oleh para pakar perkembangan anak dan memaksakan
anak saya masuk ke standard tersebut. Apa yang tidak saya sadari adalah
setiap anak adalah unik. Mereka belajar dengan cara yang unik. Sebagai
orang tua kita tidak akan bisa menemukan keunikan anak kita tanpa
terlibat langsung dalam mendidik mereka.
Saya dan Nando menemukan bahwa anak kami memilki cara belajar lain
dari yang lain. Ketika para teman sebaya menghapal Alphabet, mengitung
1-10, belajar berbicara dari apa yang mereka dengar Joel melakukannya
dengan cara yang berbeda. Kami hanya perlu menunjukkan sekilas bagaimana
membangun lego yang rumit dan setelah melihat hasil akhirnya dengan
cepat ia akan membangunnya dengan caranya sendiri. Ketika anak sebayanya
belajar mengenal huruf dan melatih motorik halus dengan menulis huruf,
Joel telah membuat huruf-huruf dari kertas yang digunting dan dilemnya
sendiri. Dan ketika anak-anak belajar mengenal huruf dan mengeja, Joel
telah menggambar karya komiknya, menciptakan karakter dan membuat dialog
imajinasi. Ia melangkahi step by step yang harus dilewati anak-anak
lain dengan melakukan yang sulit terlebih dahulu.
Proses berpikir anak kami, persis dengan yang di temukan para ahli anak masa kini sebagai cara berpikir visual spatial (Jika
anak anda memiliki trait mirip dengan Joel, anda tentu ingin belajar
lebih jauh tentang cara berpikir visual. Kunjungi websitenya di (www.visualspatial.org).
Ciri utama dari anak-anak dengan cara berpikir ini adalah kemampuan
mereka untuk mengvisualisasikan apa yang mereka pikirkan baik dalam
bentuk gambar maupun, benda atau karya seni. Berbeda dengan mainstream
anak-anak yang belajar dari yang gampang kemudian yang sulit mereka
sebaliknya belajar sesuatu yang sulit tanpa melewati cara-cara yang
gampang. Mereka belajar dengan memahami big pictures dan big ideas terlebih dahulu. Karya mereka pun selalu original dan out-of-the box.
Tanpa terlibat langsung dalam proses pembelajarannya tentu kami tidak
akan pernah menemukan potensi dan keunikannya ini. Mungkin saya akan
bergabung bersama dengan ibu-ibu cerewet yang suka marah-marah karena
raport anak mereka yang selalu merah. Itulah mengapa saya sangat
tertarik dengan homeschooling, dimana orang tua sebagai guru dan fasilitator utama bagi anak-anaknya.
Saya tahu banyak orang tua cemas seperti saya dulu yang terperangkap
pada tuntutan social untuk menghasilkan anak-anak yang jenius. Banyak
buku dan CD yang memakai merk Genius, IQ, EQ, Smart Baby, laku keras
walaupun harganya mahal untuk memenuhi kebutuhan mental para orang tua
ini. Berbagai kursus dan les pun diikuti tanpa observasi pada minat dan
bakat anak tersebut terlebih dulu. Kalau mau jujur kepentingan siapalah
yang sedang di kejar, kepentingan anak-anak atau kepentingan status
social orang tua yang tentu bangga jika anak-anak mereka menjadi anak
yang berprestasi?
Karena ambisi para orang tua maka banyak potensi anak-anak tidak
ditemukan. Dengan banyaknya kegiatan anak-anak mengakibatkan mereka
tidak lagi focus pada potensi mereka yang sebenarnya. Hasilnya semua
sama rata, tidak ada bakat yang menonjol. Pontensi-potensi ini akan
tersembunyi di dalam diri anak-anak kita hingga mereka dewasa.
Pengecualian mungkin terjadi beberapa anak yang tergolong gifted yang
bakat-bakat mereka bersinar seperti matahari. Tapi pada umumnya potensi
anak-anak yang tidak berkembang kemungkinan akan hilang percuma.
Peran orang tua sebenarnya adalah membantu anak-anaknya menemukan
potensi mereka dan menyediakan fasilitas terbaik sebagai wadah mereka
untuk mengembangkannya. Bagi kami tidak masalah jika anak-anak kami
ingin menjadi pelukis atau penemu, guru atau insiyur, kami juga tidak
perduli jika mereka ingin menjadi pengusaha atau pendeta. Itu tidak
penting. Semua itu telah di rancang oleh Tuhan. Jika mereka menemukan
potensi tentu mereka akan menemukan cara untuk mencapai tujuan hidup
mereka. ... Sekian
www.google.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar