Selasa, 29 November 2011

Menggali Potensi Anak dan Mengembakngkanya

Ada kisah nih , tentang keluarga yang mempunyai anak  namanya Joel, pernah membuat kami panik karena baru bisa menyebut ‘mama’ pada saat ia berusia 2 tahun. Dan ketika anak-anak sebayanya telah bercas-cis cus ia hanya bisa berbicara dua kata dalam kalimat. Demikian pula ketika para temannya mulai menceritakan kisah yang mereka alami di sekolah, Joel masih kesulitan membentuk satu kalimat utuh.

Banyak factor yang mungkin menjadi penyebabnya, multi-lingual yang kami ajarkan, kurang social life karena kami tinggal di luar negeri, sulitnya beradaptasi dengan dengan komunitas yang multi-cultural, atau karena factor kelainan perkembangan.
Sebagai orang tua kami berusaha mencari jawabnnya dengan untuk membawa anak kami ke psikolog, pediatrician, bahkan ke speech therapy. Hati saya gelisah ketika melihat perkembangan anak saya selalu ketinggalan dari milestones developmental-nya. Bukankan setiap ibu pernah bermimpi mempunyai anak jenius yang bisa menyamai Albert Einstein? Keadaan lingkungan membuat saya semakin cemas, ketika melihat anak-anak sebayanya telah mahir melafalkan Alphabet dan berhitung 1-100 sementara ia belum bisa menghitung sampai sepuluh.

Kegelisahan saya menjadi berkurang bahkan membuat saya menjadi orang tua yang percaya diri dengan keunikan perkembangan anak saya, ketika kami terlibat dalam proses pembelajarannya. Tugas kami tidak sekedar mendaftarkan anak ke sekolah dan tempat kursus kemudian menyiapkan lunch boxnya, tapi saya dan Nando turun tangan mengajari Joel. Bagi kami sekolah hanyalah tambahan sedangkan pendidikan utamanya adalah di rumah.

Dari cemas hati saya berubah menjadi takjub melihat keunikan dan kepandaian anak kami dalam belajar. Kesalahan saya yang utama adalah membanding-bandingkan anak saya dengan anak-anak lain. Saya juga membaca milestones yang dibuat oleh para pakar perkembangan anak dan memaksakan anak saya masuk ke standard tersebut. Apa yang tidak saya sadari adalah setiap anak adalah unik. Mereka belajar dengan cara yang unik. Sebagai orang tua kita tidak akan bisa menemukan keunikan anak kita tanpa terlibat langsung dalam mendidik mereka.

Saya dan Nando menemukan bahwa anak kami memilki cara belajar lain dari yang lain. Ketika para teman sebaya menghapal Alphabet, mengitung 1-10, belajar berbicara dari apa yang mereka dengar Joel melakukannya dengan cara yang berbeda. Kami hanya perlu menunjukkan sekilas bagaimana membangun lego yang rumit dan setelah melihat hasil akhirnya dengan cepat ia akan membangunnya dengan caranya sendiri. Ketika anak sebayanya belajar mengenal huruf dan melatih motorik halus dengan menulis huruf, Joel telah membuat huruf-huruf dari kertas yang digunting dan dilemnya sendiri. Dan ketika anak-anak belajar mengenal huruf dan mengeja, Joel telah menggambar karya komiknya, menciptakan karakter dan membuat dialog imajinasi. Ia melangkahi step by step yang harus dilewati anak-anak lain dengan melakukan yang sulit terlebih dahulu.

Proses berpikir anak kami, persis dengan yang di temukan para ahli anak masa kini sebagai cara berpikir visual spatial (Jika anak anda memiliki trait mirip dengan Joel, anda tentu ingin belajar lebih jauh tentang cara berpikir visual. Kunjungi websitenya di (www.visualspatial.org). Ciri utama dari anak-anak dengan cara berpikir ini adalah kemampuan mereka untuk mengvisualisasikan apa yang mereka pikirkan baik dalam bentuk gambar maupun, benda atau karya seni. Berbeda dengan mainstream anak-anak yang belajar dari yang gampang kemudian yang sulit mereka sebaliknya belajar sesuatu yang sulit tanpa melewati cara-cara yang gampang. Mereka belajar dengan memahami big pictures dan big ideas terlebih dahulu. Karya mereka pun selalu original dan out-of-the box.

Tanpa terlibat langsung dalam proses pembelajarannya tentu kami tidak akan pernah menemukan potensi dan keunikannya ini. Mungkin saya akan bergabung bersama dengan ibu-ibu cerewet yang suka marah-marah karena raport anak mereka yang selalu merah. Itulah mengapa saya sangat tertarik dengan homeschooling, dimana orang tua sebagai guru dan fasilitator utama bagi anak-anaknya.
Saya tahu banyak orang tua cemas seperti saya dulu yang terperangkap pada tuntutan social untuk menghasilkan anak-anak yang jenius. Banyak buku dan CD yang memakai merk Genius, IQ, EQ, Smart Baby, laku keras walaupun harganya mahal untuk memenuhi kebutuhan mental para orang tua ini. Berbagai kursus dan les pun diikuti tanpa observasi pada minat dan bakat anak tersebut terlebih dulu. Kalau mau jujur kepentingan siapalah yang sedang di kejar, kepentingan anak-anak atau kepentingan status social orang tua yang tentu bangga jika anak-anak mereka menjadi anak yang berprestasi?

Karena  ambisi para orang tua maka banyak potensi anak-anak tidak ditemukan. Dengan banyaknya kegiatan anak-anak mengakibatkan mereka tidak lagi focus pada potensi mereka yang sebenarnya. Hasilnya semua sama rata, tidak ada bakat yang menonjol. Pontensi-potensi ini akan tersembunyi di dalam diri anak-anak kita hingga mereka dewasa. Pengecualian mungkin terjadi beberapa anak yang tergolong gifted yang bakat-bakat mereka bersinar seperti matahari. Tapi pada umumnya potensi anak-anak yang tidak berkembang kemungkinan akan hilang percuma.

Peran orang tua sebenarnya adalah membantu anak-anaknya menemukan potensi mereka dan menyediakan fasilitas terbaik sebagai wadah mereka untuk mengembangkannya. Bagi kami tidak masalah jika anak-anak kami ingin menjadi pelukis atau penemu, guru atau insiyur, kami juga tidak perduli jika mereka  ingin menjadi pengusaha atau pendeta. Itu tidak penting. Semua itu telah di rancang oleh Tuhan. Jika mereka menemukan potensi tentu mereka akan menemukan cara untuk mencapai tujuan hidup mereka. ... Sekian
www.google.com

0 komentar:

Posting Komentar