Anak
adalah amanah besar dari Allah SWT untuk diberikan bimbingan, arahan
dan didikan oleh para orang tuanya.. Melalaikan pendidikan anak atau
melakukan penyelewengan pendidikan anak dari manhaj yang telah
ditentukan, berarti telah mengkhianati amanah yang diberikan Allah
tersebut.
Sejak
usia dini, anak memiliki potensi yang sangat besar. Menurut Prof. Dr.
Utami Munandar, seorang pakar kreativitas Indonesia, kapasitas otak
anak pada usia 6 bulan sudah mencapai sekitar 50 % dari keseluruhan
potensi orang dewasa. Otak seorang anak ternyata sangat luar biasa.
Pada masa ini, anak mengalami perkembangan intelektual otak yang
sangat cepat.
Tingkat
perkembangan
intelektual
otak
anak,
sejak
lahir
sampai
usia
4
tahun
mencapai
50%.
Oleh
karena
itu,
pada
masa
empat
tahun
pertama
ini
sering
disebut
juga
sebagai
Golden
Age
(Masa
Keemasan),
karena
si
anak
mampu
menyerap
dengan
cepat
setiap
rangsangan
yang
masuk.
Si
anak
akan
mampu
menghafal
banyak
sekali
informasi,
seperti
perbendaharaan
kata,
nada,
bunyi-bunyian,
dsb.
Hingga
usia
8
tahun,
anak
telah
memiliki
tingkat
intelektual
otak
sekitar
80
%.
Perkembangan
intelektual
otak
ini
relatif
berhenti
dan
mencapai
kesempurnaannya
(100%)
pada
usia
18
tahun.
Jadi
setelah
usia
18
tahun,
intelektualitas
otak
tidal
lagi
mengalami
perkembangan.
Oleh
karena itu, jika para orang tua menyia-nyiakan kesempatan emas
(Golden Age) pada masa kanak-kanak, berarti mereka telah kehilangan
satu momen yang sangat baik untuk memberikan landasan bagi pendidikan
anak selanjutnya. Salah satu kebiasaan buruk para orang tua adalah
menenggelamkan si anak dalam buaian mereka pada usia 3 – 6 tahun,
sehingga sebagian besar anak kehilangan kesempatan untuk mengasah
potensi.
Pendidikan
orang tua terhadap anak akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan
kreativitas anak. Anak yang memiliki bakat tertentu, jika tidak
diberikan rangsangan-rangsangan atau motivasi dari orang tua dan
lingkungannya, tidak akan mampu memelihara, apalagi mengembangkan
bakatnya.
Berdasarkan
sebuah penelitian, di sekolah ditemukan kurang lebih 40 % anak
berbakat tidak mampu berprestasi setara dengan kapasitas yang
sebenarnya dimiliki (Achir,1990). Akibatnya, sekalipun berkemampuan
tinggi, banyak anak berbakat tergolong kurang berprestasi.
Untuk
memberikan motivasi kepada anak berbakat, orang tua atau pendidik
perlu melakukan penelaahan agar dapat mengenali ciri-ciri, kebutuhan
dan kecenderungan si anak yang relatif berbeda dengan anak biasa.
Setelah hal-hal tersebut diketahui, orang tua atau pendidik akan
lebih mudah untuk menciptakan susana yang cocok bagi perkembangan
bakat si anak.
Menurut
Renzulli,
keberbakatan
meliputi
tiga
cluster
ciri,
yaitu
kemampuan
umum
yang
tergolong
di
atas
rata-rata
(above
average
ability),
kreativitas
yang
kaya
(creativity),
dan
pengikatan
diri
terhadap
tugas
(task
commitment).
Seorang berbakat, menurut Dr. Yaumil Agoes Achir, selain memiliki keunggulan intelektif juga memiliki keunggulan non intelektif. Pendekatan terhadap mereka yang berbakat yang terbatas pada intelektual belaka akan mengganggu keseimbangan perkembangannya. Kecerdasan emosional juga turut menentukan keberhasilan bakat seorang anak.
Keluarga adalah lingkungan yang paling banyak mempengaruhi kondisi psikologis dan spiritual anak. Di Jepang, misalnya, karena Jepang sangat memperhatikan pengembangan kreativitas anak melalui kebebasan dan pemupukan kepercayaan diri, kebangkitan kreativitas anak-anak di Jepang mengungguli anak-anak di Amerika dan Eropa (Awwad, 1995).
Menurut
Prof. Dr. Utami Munandar, kondisi yang menunjang perkembangan
kreativitas dan penuntun umum untuk mengembangkan kreativitas anak
didik. Strategi yang digunakan untuk mengembangkan kreativitas adalah
4 P, yaitu dilihat dari segi Pribadi, Pendorong, Proses dan Produk.
Kreativitas
ditinjau dari segi pribadi menunjuk pada potensi atau daya kreatif
yang ada pada setiap pribadi, anak maupun orang dewasa. Pada
dasarnya, setiap orang memiliki bakat kreatif dengan derajat dan
bidang yang berbeda-beda. Untuk dapat mengembangkan kreativitas anak
atau kreativitas diri sendiri, pertama-tama kita perlu mengenal bakat
kreatif pada anak (atau pada diri sendiri), menghargainya dan memberi
kesempatan serta dorongan untuk mewujudkannya.
Agar
kreativitas dapat berkembang memerlukan dorongan atau pendorong dari
dalam sendiri dan dari luar. Pendorong yang datangnya dari diri
sendiri, berupa haasrat dan motivasi yang kuat untuk berkreasi,
sedangkan yang dari luar misalnya keluarga, sekolah dan lingkungan.
Sedangkan
kreativitas sebagai suatu proses, dapat dirumuskan sebagai suatu
bentuk pemikiran dimana individu berusaha menemukan
hubungan-hubungan yang baru untuk mendapatkan jawaban, metode atau
cara-cara baru dalam menghadapi suatu masalah. Pada anak yang masih
dalam proses pertumbuhan, kreativitas hendaknya mendapat perhatian
dan jangan terlalu cepat mengharapkan “produk kreativitas” yang
bermakna atau bermanfaat.
Hal
yang lebih penting adalah menumbuhkan sikap senang dan berminat untuk
bersibuk diri secara kreatif. Anak perlu berkreasi sekaligus
berekreasi. Faktor bermain adalah penting dalam mengembangkan
kreativitas, bahkan tidak hanya pada anak.
Suatu
penelitian di Jakarta tentang sikap orang tua dalam pendidikan anak
menyimpulkan bahwa orang tua kurang menghargai perkembangan dari
ciri-ciri inisiatif, kemandirian dan kebebasan yang erat hubungannya
dengan pengembangan kreativitas dan lebih mementingakan ciri-ciri
kerajinan, disiplin dan kepatuhan.
Menghadapi
anak yang berbakat dan kreatif, orang tua atau guru perlu mencari
cara perlakuan yang khusus. Keunggulan seseorang tidak lahir secara
tiba-tiba. Hal itu akan muncul pada anak yang memiliki daya imajinasi
yang luas dan itu berjalan seiring dengan perkembangan fisik dan usia
anak. Menurut Jaudah Muhammad Awwad, dalam bukunya Mendidik Anak
secara Islam, kreativitas akan lebih jelas terlihat pada anak usia
9-12 tahun. Anak usia itu mulai mampu memahami siapa dirinya dan
pandai menyikapi permasalahan di sekelilingnya. Dia akan senantiasa
mencari pemecahan atas berbagai masalah yang dihadapinya.
Setelah
kita
mengetahui
bagaimana
potensi
dan
kemampuan
intelektual
otak
anak,
tentunya
kita
tinggal
menyiapkan
piranti
lunak
(soft
ware)
-nya
berupa
materi
untuk
mengisi
sel-sel
syaraf
otak
yang
jumlahnya
satu
trilyun
sel.
Sejak
dini
anak
harus
diarahkan
dan
dididik
agar
dapat
menjadi
insan
yang
shaleh,
berilmu
dan
bertakwa.
Hal
ini
merupakan
perwujudan
pertanggungjawaban
orang
tua
terhadap
Khaliknya.
Jika
anak memperlihatkan potensi kuat dalam hapalan, maka anak dapat
dibimbing untuk menghapal ayat-ayat Al Qur’an atau kisah-kisah para
pejuang Islam. Tidak sedikit anak-anak muslim usia antara 4 – 12
tahun yang hapal seluruh Al Qur’an. Hal ini menunjukkan bila
potensi anak digali dan dikembangkan, maka akan membuahkan hasil yang
menakjubkan. Jika anak memiliki potensi dan bakat di bidang tertentu,
bisa diberikan arahan sesuai dengan bidangnya tersebut, dengan
catatan diarahkannya kepada hal-hal yang baik dan benar serta
bermanfaat, sehingga di masa yang akan datang akan terwujud generasi
umat yang islami sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah.
0 komentar:
Posting Komentar